DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang…………………………………………………………………………………………………………………………
1.2
Rumusan masalah…………………………………………………………………………………………………………………..
1.3. Metode dan Teknis Penggunaan
Data………………………………………………………………………………
1.4 Sistematika Penulisan………………………………………………………………………………………………………….
1.5 Tujuan umum………………………………………………………………………………………………………………………..
BAB
II KAJIAN TEORI SASTRAWAN DAN PEMBACA
2.1
Pembaca karya sastra……………………………………………………………………………………………………………
2.1.1 Pandangan ahli dan
pendekatan……………………………………………………………………………………..
2.2 Hubungan sastrawan dan
pembaca……………………………………………………………………………………….
2.3. Pandangan pahli terhadap pembaca
…………………………………………………………………………………..
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………………………………………………………
3.2
Saran……………………………………………………………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami
panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar,
serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
“SASTRAWAN DAN PEMBACA”.
Makalah ini telah
dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
·
Pengajar teori sastra DR. H. SITI SUMARSILAH.
M.Pd
·
Teman- teman kelompok yang membantu penyusunan
makalah ini
Kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami
mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun
kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Malang, oktober 2013
Kelompok 5 teori
sastra
BAB I
PENDAHULUAN
Karya satra tidak mempunyai keberadaan nyata sampai
karya sastra itu di baca . pembacalah menerapkan kode yang di tulis sastrawan
untuk menyampaikan pesan ( Selden, 1985)
1.1.
Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1980-an teori-teori sastra yang baru
untuk Indonesia mulai bermasukan. Teori- teori sastra tersebut berasal dari
Barat (terutama eropa dan Amerika serikat ). Dengan masuknya teori – teori
sastra yang baru tersebut, para ahli sastra mulai moncoba menerapkannya dalam
penelitian sastra, terutama para ahli sastra akademis. Diantara teori sastra
dan kritik sastra tersebut adalah strukturalisme, sosiologi sastra, semiotika,
estetika resepsi, dekonstruksi, dan kritik feminis. Ternyata, teori-teori
sastra dan kritik-kritik sastra itu tidak mudah diterapkan dalam penelitian
sastra. Tidak mudahnya di sebabkan oleh teori dan metode yang rumit yang tidak
hanya berupa teori dan metode yang tunggal dalam salah satu teori, misalnya,
pendekatan pragmatik sebagaimana kita mengenal resepsi sastra.
Kehadiran pembaca sangatlah berharga dihadapan
sastrawan. Tanpa anda, yang membaca karya sastra,satrawan bukanlah siapa-
siapa. Ya, bila tidak ada pembacanya, kita juga tidak mengenal karya
satra. Itulah sebabnya, kedudukan pembaca sangatlah penting.
Pernahkah anda membaca karya sastra seperti cerpen, puisi, novel, dan drama? Pada saat
membaca karya sastra apakah anda membayangkan
satrawannya? Sebagai pembacakarya sastra apakah anda bertanya kepada
satrawan bila anda kesulitan memahami karya sastranya? Bagaimanakah jika karya
sastra sastrawan tidak ada yang membacanya?
Hal itulah yang mendorong kami untuk mengkaji lebih
dalam tentang tentang hubungan satrawan dan pembaca serta kelebihan-kelebihan
yang akan memperkuat integritas para pendidik akan pentingnya kehadiran
sastrawan karena tanpa pembaca berarti tidak ada yang menilai eksistensi dari
sastra itu sendiri. Oleh karena itu dengan latar belakang masalah di atas,maka
penulis mencoba menyusun makalah yang berjudul “ SASTRAWAN DAN PEMBACA”
1.2.
Rumusan Masalah
Berbagai uraian latar belakang diatas, selanjutnya
kami menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
1). Bagaimanakah hubungan antara pembaca dan sastrawan cara untuk membedakan
antara teori sastra yang satu, dengan teori sastra yang lainnya?
2). Hal – hal apa sajakah yang diulas oleh
para ahli berkaitan dengan hubungan timbal balik sastrawan dan pembaca itu
sendiri?
1.3.
Metode dan Teknis Penggunaan Data
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode deskriptif
dan pengumpulan data-data dari berbagai sumber baik itu sumber tertulis
1.4. Sistematika Penulisan
Pada bab I
disajikan pendahuluan sebagai gambaran umum dari makalah yang kami sajikan yang
meliputi:
- Latar belakang masalah
- Rumusan Masalah
- Metode dan teknik pengumpulan data
- Sistematika Penulisan
- tujuan
Selanjutnya pada
bab II bagian dari makalah ini yaitu mengenai Kajian Pustaka sastrawan dan
pembaca yang dibahas, yang meliputi :
- pembaca karya sastra
- hubungan sastrawan dengan pembaca
- pandangan para ahli terhadap pembaca sastra
- Unsur – unsur yang terkandung di dalamnya
Adapun pada bab
IV merupakan penutup dari makalah ini yang menyangkut dengan kesimpulan dan saran dari penyusun.
1.5 Tujuan umum
Tujuan
disusunnya karya ilmiah ini yaitu untuk memberikan pemahaman secara mendalam
tentang hakikat pembaca karya sastra serta hubungannya dengan karya sastra itu
sendiri maupun ilmu sosiologi sastra.
BAB II
KAJIAN TEORI
SASTRAWAN DAN PEMBACA
2.1
Pembaca Karya Sastra
2.1.1
Pandangan para ahli dan kajian pendekatannya
v
Menurut sapardi
djoko darmono
Dalam seminar (Hiski di Malang, 26- 28 November
1990), Sapardi Djoko Darmono pernah ditanya oleh salah seorang peserta seminar
tentang pengertian karya sastra. Menurut Sapardi, karya sastra adalah karya
yang maksudkan oleh pengarangnya sebagai karya sastra, berwujud karya sastra,
dan diterima oleh masyarakat sebaagai karya sastra. Dengan penjelasan ini diketahui
bahwa peran pembaca sangat urgent dalam menentukan sebuah karya itu
merupakan karya sastra atau bukan. Sadar atau tidak akhirnya karya
sastra itu akan sampai juga kepada pembaca, ditunjukan kepada pembaca
sebagai keutuhan komunikasi sastrawan- karya sastra- pembaca, pada hakikatnya
karya yang tidak disampaikan kepada pembaca, bukanlah karya sastra ( Siswanto
dan Roekhan, 1991/1992: 30) karya sastra tidak mempunyai keadaan nyata sampai
karya sastra itu dibaca. Pembacalah yang menerapkan kode yang ditulis sastrawan
untuk menyampaikan pesan (Selden, 1985: 106- 107)
v
Menurut Horatius
dalam ars poetica ( 14 SM)
Horatius menyatakan bahwa tujuan
penyair adalah berguna atau member nikmat, ataupun sekaligus menyatakan hal-
hal yang enak dan berfaedah menyatakan untuk kehidupan. Horatius
menggabungkan kata utile dan dulce, yang bermanfaat dan yang
enak, secara bersama sama. Dari pendapat inilah awal dari pendekatan paragmatik. Pendekatan
pragmatik adalah bidang kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap
peran pembaca.
Dengan
pendekatan pragmatik inilah kita mengenal resepsi sastra. Resepsi sastra adalah
kajian yang mempelajari bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya
sastra yang dibacanya sehinggah dapat memberikan reaksi dan tanggapan terhadapnya, baik aktif
maupun pasif. Pentingnya peranan pembaca dalam memberikan arti terhadap
karya sastra dapat dilihat pada kenyataan bahwa karya yang sama akan dimaknai
secara berbeda oleh para pembaca berbeda ( Junus, 1985 )
sebagai contoh masing-masing siswa
yang di kelas memberikan presepsi yang berbeda dari sebuah karya sastra setelah
mereka membaca karya sastra tersebut.
Dalam kritik sastra, Darmono (1983) menyatakan,
“dua orang kritikkus tidak mungkin kritik- kritik yang persis sama meskipun mereka
telah bertemu dengan sajak yang sama.”
2.2. Hubungan Sastrawan dengan Pembaca
Hubungan
antara pembaca dengan sastrawan sangatlah khas. Kekhasan ini secara
selintas dapat ditinjau dari sifat komunikasi dan pelaku komunikasi, yakni
sastrawan, bahasa yang
digunakan, dan pembaca sastra.
v Pertama, hubungan pembaca dengan sastrawan dari sifat
komunikasinya. Hubungan pembaca dan sastrawan adalah hubungan timbal balik.
Pada awal komunikasi sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya berangkat dari
peranggapan yang sama. Sastrawan dan pembaca harus sadar bahwa mereka
berkomunikasi melalui karya sastra, karya sastra yang berisikan fiksi dan
kenyataan. Dalam dunia sastra, peranggapan ini dinamakan konvensi sastra. Konvensi sastra
bersifat ketat dan juga bersifat longgar ( Teew, 1984: 366) konvensi ini bisa
meliputi bahasa karya sastra, isi karya sastra, genre karya sastra, struktur
karya sastra; bisa juga aspek sosio- budaya karya sastra. Sastrawan dan pembaca
harus menyadari bahwa karya sastra yang dihasilkan seperti puisi, cerpen,
drama sangatlah berbeda dengan bahasa praktis yang digunakan dalam kehidupan sehari-
harimeskipun kata- kata atau kalimat yang digunakan sama. Bahasa yang ada dalam
karya sastra sudah mengalami perubahan, pengurangan makna, penambahan, dan
penggalian.
Kaum formalis berpendapat bahwa
kesusastraan sebagai satu pemakaian bahasa yang khas yang mencapai perwujudannya lewat deviasi ( penyimpangan ) dan distorsi (pemutarbalikan ) dari
bahasa praktis. Bahasa praktis digunakan untuk tindak komunikasi dan
bahasa sastra tidak mempunyai fungsi praktis. Kaum formalis juga menngunakan
konsep defamiliarisasi ( dikenal
menjadi tidak dikenal) dan deotomonisasi ( buat yang biasa menjadi luar biasa ) (
Selden, 1985: 8-11)
Seperti dalam puisi
Dimas Arika Mihardja berikut ini:
PADA
TIRAI YANG MELAMBAI
pada tirai yang melambai
terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai
pucat pasi. tiada suara
tawa atau canda. disini semua fana semata
hanya seremoni belaka: doadoa sederhana
mengangkasa
pada tirai yang melambai
ada yang tergadai, seperti pantai landai
tempat riak dan ombak berontak
atau saling bantai, tak hentihenti mencumbui
karang,teripang, juga segala bayang
pada tirai yang melambai
kuuntai tragedi-demi-tragedi
yang tak kunjung usai
Dari puisi di
atas kita bisa mengetahui bahwa bahasa yang digunakan tidak bisa dipakai dalam
kehidupan sehari- hari. Puisi di atas hanya bisa dimaklumi oleh pembaca sebagai
perasa akan kekuatan bahasa yang dipakai.
Sastrawan
yang mengetahui konvensi yang sudah ada dalam benak pembaca bisa mengambil
sikap mengikuti konvensi dan manfaat konvensi itu. Sastrawan mengambil
sikap mengikuti konvensi bisa berangakat dari peranggapan yang sama dengan
pembaca dan tetap setia menghasilkan karya sastra yang sesuai dengan
peranggapan tersebut. Ia akan menyampaikan informasi yang given, yaitu informasi yang dimiliki pembaca tentang sastra.
Pada
intinya sastrawan harus mengetahui selera dari setiap kalangan manusia baik
menurut usia, kedudukan, maupun status sosial dari pembaca itu sendiri.
Tidak semua
pembaca menyukai sastrawan yang selalu mengikuti selera pembaca. Ada
pembaca justru dikejutkan oleh sastrawan. pembaca yang suka cerita
detektif akan kecewa bila pada awal-awal membaca ia sudah dapat menebak dengan
jelas bagaimana akhir dari cerita itu.
Dalam cerita detektif, pembaca justru ingin ditipu oleh kelihaian sastrawan.
Ada sastrawan yang mengambil sikapkedua, ia memanfaatkan
konvensi yang sudah ada dalam pembaca untuk dipermainkanya. Sastrawan, bahkan
bisa menentang konvensi dan bisa menyodorkan sesuatu yang baru. Sesuatu yanga
lain apa yang telah dikenal oleh pembaca. Sastrawan menyampaikan informasi new. Informasi baru yang belum
dimiliki oleh pembaca.sebagi contoh cerita tentang Nyi Roro Kidul dimitos oleh masyarakat sebagai penguasa Pantai
Selatan. Ia dilukiskan sebagai wanita cantik dari golongan maklud halus yang
cantik. Dalam sebuah cerpen yang menceritakan adegan dalam sebuah film tentang
Nyi Roro Kidul. Penulisan cerpen ini ingin pemahaman tentang cerita Nyi
Roro Kidul. Dalam film ini diceritakan bahwa salah satu kru film didatangi
seorang wanita cantik dan berpenampilan
modis yang ternyata Nyi Roro Kidul. Putu Wijaya sebagai penulis cerpen ini
dikenal sebagai sastrawan teror mental atau pengedor sukma pembaca. Penulis
disini memberikan kejutan kepada pembacanya, baik melalui tokoh- tokoh
pesan, cara pandang terhadap suatu masalah, serta alur cerita. Munculnya
karya- karya yang mendapat penghargaan dalam lomba dan karya- karya monumental,
antara lain disebabkan oleh karya-karya berbeda dari sebelumnya.
v Kedua, kekhasan komunikasi antar sastrawan dan
pembacanya bisa dilihat dalam diri pembaca itu sendiri. Pada saat membaca karya
sastra, pembaca tidak dapat berkomuniksi langsung dengan sastrawan. Ia hanya
bisa menghadapi teks yang dibaca. Pembaca sastra adalah pemilih, penerima,
penafsir, pemberi, dan penyusun makna karya sastra sehingga menghasilakn nilai-
nilai tertentu (aminuddin, 1987, 94 ) Dalam karya sastra serius,
komunikasi pembaca kepada sastrawan dapat berupa ulasan atau tulisan
kritik, sedangkan untuk sastra pop, komunikasi antara sastrawan dengan pembaca
nyaris tidak ada ( zoest, 1990: 54- 55 ) Dalam dunia sastra sadar atau tidak,
sengaja atau tidak, karya sastra harus sampai kepada pembaca dan tunjukkan
kepada pembaca. Oleh karena itu sadar atau tidak pembaca dapat menerima karya
sastra dari sastrawan. Penerimaan itu bisa berupa mengerti, mencemooh, menolak,
membaca, atau melaksanakan apa yang ada dalam karya sastra itu.
A.
Bentuk-
bentuk penerimaan karya sastra menurut tingkatannya.
·
Pembaca awam akan menerima karya sastra
karena keawamannya. Setelah membaca roman siti nurbaya, seorang ibu rumah
tangga yang awam dalam dunia sastrapernah bertanya, apakah kuburan siti
nurbayasampai sekarang masih ada? Mungkin dalam benak pembaca awam, cerita yang
ada di roman siti nurbaya benar- benar terjadi. Disini pembaca awam menerima
karya sastra berdasarkan skematanya, tanpaharus dilandasi teori- teori sastra.
·
Pembaca yang sastrawan memerima karya
sastra deengan schemata kesstrawannya. Mereka menerima karya sastra berdasarkan
pengalaman mereka dalam proses berkreatif. Mereka cenderung menulis karya
sastra yang baru setelah mereka membaca karya sastra sebelumnya. Contoh
karya sastra yang berdasarkan pengalaman yang didapat dari membaca karya orang
lain ataupun mungkin dari karyanya sendiri. Seperti cerpen Anton Chekov
berjudul “The Darling” menjadi salah satu pemicu lahirnya novel olenka karya Budi Darma. Sajak Coleridge
“Kubla Khan” masuk dalam cerpennya “Kritikus Adinan”.
·
Pembaca kritikus membaca karya sastra
lebih banyak didasarkan pada nilai baik-buruk atau berhasil – gagalnya sebuah
karya sastra.
·
Pembaca dari kaum akademis menerima
karya sastra dengan skemata teori sastra yang telah mereka terima.
B.
Kesenjangan dan perbedaan antara makna
yang dimaksudkan sastrawan dengan makna yang diterima oleh pembaca disebabkan
sebagai berikut:
·
Sesuatu yang yang dimaksud oleh
sastrawan barangkali tidak sama atau hanya sebagaian saja yang mirip dengan
yang dipahami pembaca. Perbedaan dan persamaan mereka tentang sesuatu
dipengaruhi oleh perbedaan dan persamaan
mereka tentang dunia ( kartomihardjo, 1992: 13 )
·
Kesenjangan antara pembaca dan sastrawan
dipengaruhi oleh perbedaan kepribadian dan perbedaan latar belakang:
kebahasaan, kesastraan, sosiologis, dan psikologis yang dimiliki oleh sastrawan
dan pembaca. Sebagai solusi dalam hal ini adalah pembaca harus mengetahui dan
memahami sistem sosial budaya, sistem bahasa, sistem sastra, terutama yang
berkaitan dengan karya sastra.
v Ketiga,
kekhasan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat dari pesannya, yaitu
karya sastra itu sendiri. Setelah pembaca membaca karya sastra, sebenarnya akan
muncul karya sastra lain. Karya sastralain itu adalah karya sastra yang ada
dalam pikiran pmbaca sesuai dengan penafsiran dan sistem yang ada di dalam
pikirannya. contohnya dalam puisi Wahyudi S. di bawah ini!
SAJAK
KULI BANGUNAN
Diayaknya pasir denagan harapan
yang keluar adalah nasi
Tapi yang jatuh ke tanah adalah
luka
Dicobanya menata batu bata untuk
menyusun istana
Ternyata justru mengurung hidupnya
Pasir, istana,
luka, dan nasi
yang
dimaksudkan satrawan berbeda dengan yang di perkirakan pembaca. Dari proses ini wajar para ahli
mengatakan bahwa karya sastra bersifat polisemantis dan multitafsir. Umar Junus
mengatakan bahwa karya sastra bersifat polisemantis (banyak makna) saat dalam
proses penafsiran dan monosemantis (satu makna) setelah berada dibenak
pembacanya. Makna yang di benak pembaca itulah yang dimaksud dengan karya
sastra lain.
v Keempat, kekhasan
komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada diri sastrawannya.
Hubungan antara sastrawan dan pembaca juga bisa berupa hubungan yang muncul akibat
sikap dan pandangan sastrawan terhadap pembaca. Selain muncul dalam sikap
sehari-hari sikap terhadap pembaca tampak pada karya sastranya.
·
Ada sastrawan yang mengajak, mendikte,
atau bersikap menggurui pembaca. Sastrawan beranggapan bahwa pembaca itu bodoh
sehingga perlu bimbingan. Keadaan ini mungkin berhubungan atau berasal dari
hubungan tukang cerita (tradisional) yang mempunyai pengetahuan yang banyak
dari pada masyarakatnya.·
Ada sastrawan beranggapan pembaca adalah
orang yangtidak tahu atau kurang tahu tapi tidak perlu digurui. Dalam karya
sastranya, sastrawan tersebut akan melemparkan masalah kepada pembaca dengan
alternatif pemecahannya. Keadaan semacam itu tampak pada karya tulis.·
Ada sastrawan beranggapan bahwa pembaca
adalah orang bijak. Pembaca sudah dianggap mampu menentukan sendiri keputusan
dari permasalahan yang diajukan sastrawan. Dalam karya sastra, sastrawan biasanya
menyerahkan
penyelesaina dari suatu permasalahan kepada pembaca. Hal
ini, antara lain, tampak pada karya sastra yang diakhiri open ending, penyelesaian
akhir yang terbuka.
v Pandangan
pembaca trhadap satrawan atau karya sastranya juga memengaruhi sikap dan
tindakan pembaca.
·
Pembaca yang berbeda pendapat, ideology,
atau pandangan denagan sastrawan akan sulit menerima apa yang dikemukakan oleh
sastrawan.
·
Pembaca akademis akan bisa bersikap merendahkan bila Ia
memandang sastrawan itu gagal dalam karya sastranya. Kritikus bisa bersikap
hormat bila ia memandang sastrawan berhasil dalam karya sastranya. Pembaca akan
berusaha untuk memahami atau bahkan mengikuti apa yang disarankan oleh
sastrawan bila ia adalah pujaan pembaca.
v Hubungan ini masih bisa diperluas sesuai
dengan kekhsussan variabel yang mempengaruhi sikap dan pandangan sstrawan
terhadap pembaca dan sebaliknya.
Dalam hubunganya dengan karya sastra yang ditawarkan oleh sastrawan,
pembaca dapat saja menggunakan asas- asas tafsiran lokal dan analogi. Asas
tafsiran lokal ini memberikan pentujuk kepada pendengar atau pembaca agar tidak membentuk konteks yang lebih luas dari yang
lain ia perlukan untuk sampai kepad suatu tafsiran. Asas analogi
adalah salah satu heuristik mendasar yang dianut oleh pembaca dan penganalisis untuk
menentukan tafsiran- tafsiran dengan mempertimbangkan konteks. Mereka menbahwa
menganggap bahwa segala sesuatu akan tetap seperti sebelumnya jika mereka tidak
diberi peringatan tertentu bahwa suatu aspek tertentu telah berubah (brown,
Yule, 1996: 58-65). Asas ini mengharuskan pendengar atau pembaca menginterprestasikan suatu wacana seperti yang telah diketahui sebelumnya, kecuali apabila ada pemberitahuan bahwa sebagaian dari wacana itu diubah (Kartomihardjo, 1993:29). Wacana ditafsirkan
dari sudut pengalaman dengan wacana serupa dimasa lampau, melalui analogi
dengan teks- teks serupa sebelumnya. Pengalaman sebelumnya yang relevan,
bersama dengan asas tafsiran lokal, akan mendorong pendengar atau pembaca ntuk
berusaha menafsirkan ujaran- ujaran yang berurutan sebagai berhubungan dengan
topic yang sama. Pembac juga melakukan proses inferens. Inferns adalah usaha
menarik kesimpulan untuk dapat menafsirkan ujaran- ujaran atau hubungan antar
ujaran (brown dan Yule, 1996).
2.3. Pandangan
Ahli Terhadap Pembaca Sastra
Seperti yang diketahui bahwa
sebelumnya, bahwa pembaca mempunyai kedudukan yang penting. itulah sebabny,
dalam bidang studi sastra, ada bidang kajian sastra yang menitikberatkan
kajiannya terhadap peran pembaca. Kajia semacam ini disebut pendekatan
pragmatik. Berikutini akan diuraikan
secara singkat pendadpat para ahli- ahli tersebut mengenai pembaca.
·
Gerald prince ( dalam selden, 1985: 109-110) mengemukan teorinya tentang narrate (orang yang diceritai). Narrate adalah orang yang kepadanya
pencerita menyampaikan wacananya. Narrate
berbeda dengan pembaca. Pencerita
mengkhususkan narratee berdasarkan jenis kelamin, kelas, situasi, ras atauumur,
sedangkan pembaca yang nyata dapat atau tidak dapat bersamaan dengan narrate. Princemembedakan narrate dengan
pembaca yang sebenarnya ( pembaca yang dipikirkan penulis ketika
mengembangkan ceritanya) dan pembaca
ideal (pemabaca sempurna berwwawasan yang mengerti setiap gerak penulis).
·
Menurut Husserl,objek penelitian
filosofis yang sebenarnya adalah isi
kesadaran kita dan bukan objek dunia. Dalam teori sastra,pendekatan ini tdak
mendorong keterlbatan subjktif yang murni untuk struktur mental kritis,tetapi
suatu tipe kritis sastra yang mmencoba masuk dunia.karya seseorang penulis dan
sampai pada suatupengertian tentang alalm dasar atau inti sari tulisan itu
sebagaimana tampak pada kesadaran kritikus.Derrida menganggap jenis pemikiran
ini bersifat logosentrik karena menduga bahwa arti dipusatkan pda subjek
trancendental (pengarang) dan dapat di pusatkan kembali pada subjek lain
(selden, 1985:110_111).
·
Menurut martitn Heidegger kesadaran kita
memproyeksikan benda_benda dunia dan juga pada waktu yang sama di tundukan
dunia olh kodrat keberadaannya yang sebenarnya di dunia.oleh karena
itu,pemikiran kita selalu dalam sebuah situasi danselalu bersifat sejarah meskipun
secara sejarah tidak bersifat eksternal dan social,melainkan bersifat personal
dan berada di dalam.Hans_george gadamer menerapkan bahwa pendekatan situasional
Heidegger dan teori sastra.gadamermenegaskan bahwa sebuah karya sastra tidak
muncul kke dunia sebagai berkas arti yang selesai dan terbungkus rapi.arti
bergantung pada situasi kesejarahan (selden,1985_111_112)
·
Menurut stanly fish mengemukakan pendapatnya dalam pengalaman pembaca.selain
mendukung fish,jonatan culler mengkritiknya.menurut culler,seorang pembaca
adalah seorang yang memiliki kompetensi lingustik(pengetahuan sintatik dn
simantik) yang di perlukan untuk membaca.
·
Menurut jonathan culler suatu teori
pembaca harus mengungkapkan operasi
penafsiran yang di pergunakan pembaca.pembaca yang berbedaakan menghasilkan
tafsiran yang berbeda.culler mengakui bahwa konvensi yang dapat di terapkaan
pada suatu genre tidak dapt di terapkan kepada yang lain dan konvensi
penafsiran akan berbeda dari suatu priode ke priode yng lain(sellden
1985:120_122)
·
Menurut Michael riffaterre mengemukakan
pentingnya kompetensi sastra bagi pembaca dalam memahami karya sastra kususnya
puisi,untuk menghadapi ketidak gramatikalan dalam puisi.meski riffaterre setuju
dngan kaum formalis rosia dalam memandang puisi sebagai sebuah pengguna bahasa
yang kusus.bahasa umumnya praktis dan di gunakan menunjuk sesuatu jenis
kenyataan,sedangkan bahasa puitik berpusat pada pesan sebagai suatu tujuan
dirinya sendiri (selden 1985:117_120).
·
Menurut wolfgang iser (dalam salden
,1985) membagi pembaca atas pembaca implisit dan pembaca nyata.pembaca implicit
adalah pembaca yang di ciptakan sendiri oleh teks untuk dirinya dalam menjdi
jaringan kerja struktur yang mengundang jawaban,yang mempengaruhi kita untuk
membaca dengan cara tertentu.pembaca nyata adlah pembaca yang menerima citra
mental tertentu dalam proses pembacanya.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Simpulan
1.
Pembaca (Pembaca Karya Sastra)
merupakan audiens yang
dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya
dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan Warren (1994)
2.
Pembaca
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam karya sastra. pembaca dapat dikatakan sebagai raja pada kegiatan
produksi sastra. Dalam dunia sastra, penulis-karya-pembaca merupakan
mata-rantai dalam menggerakkan perkembangan dunia sastra. Setiap pembaca memiliki pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda, karena teks sastra merupakan kajian interpretasi. Selain itu, pembaca merupakan ‘juri’ dalam menilai suatu karya. Bayangkan, jika tidak ada yang membaca karya sastra, fungsi sastra tidak memiliki peran pada karya.
3.
Hubungan
sastrawan dengan pembaca adalah hubungan timbal balik. Dalam hal ini terdapat
hubungan interaksi komunikasi secara tidak langsung antara pengarang dan
pembaca. bahkan Jika dikaji lebih mendalam terdapat ikatan-ikatan yang bersifat
mutlak antara pengarang dan pembaca, baik dari segi psikis, spiritual dan
sosiologis. Serta hubungan emosional dalam rangka mengungkap hal-hal tersebunyi
didalamnya sehingga karya sastra tersebut dapat diterima dan dapat pula
menunjukkan perannya di tengah-tengah masyarakat (sosial).
4.
Sosiologi pembaca Yaitu
memasalahkan seberapa jauh karya sastra itu memiliki pengaruh terhadap masyarakat, khususnya pembacanya, dan seberapa jauh pembaca, masyarakat itu, terpengaruh oleh karya
sastra yang dibacanya.
Di samping itu, (Watt, via Damono,
1979). Berpendapat bahwa Sosiologi Pembaca
“juga mengkaji
fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai sosial”.
Fungsi dan
tujuan seorang penyair dalam masyarakat, yaitu “berguna dan memberi nikmat,
ataupun sekaligus menyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan”,
yang dikenal dengan istilah Utile dan Dulce. Apa yang dikemukakan
oleh Horatius tersebut kemudian menjadi dasar perkembangan teori pragmatik, dan
resepsi sastra.
3.2 Saran
Pembaca
yang baik adalah pembaca yang tidak hanya sekedar membaca. Tapi mampu
mengungkap hal tersembunyi dalam karya sastra. Sehingga kemunculan karya sastra
tersebut lebih bermakna serta memberikan manfaat yang bersifat membangun
terhadap masyarakat secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
·
SISWANTO, WAHYUDI, KOEKHAN. 1991.TEORI KESASTRAAN.
MALANGOPF
IKIP MALANG
·
SELDIN, RAMAN.1985. A READERS GUIDE TO
CONTEMPORARY( ITERAPY THEORY) THE
HARVESTER PRESS
·
ZOEST, AART VAN. 1990.FIKSI DAN NON
FIKSI DALAM KAJIAN SEMIOTIK. TERJEMAHAN MANOEKAMI,SARDJOE, JAKARTA:
INTERMASA
·
KARTOMIHARDJO, SOESENO.1992.”ANALISIS WACANA DAN
PENERAPANNYA”. PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR IKIP MALANG. MALANG: IKIP MALANG
·
TEEW, A. 1983. MEMBACA DAN MENILAI
SASTRA. JAKARTA: GRAMEDIA
·
YUNUS, UMAR.1985. RESEPSI SASTRA: SEBUAH PENGATAR. JAKARTA:
GRAMEDIA
·
SISWANTO, WAHYUDI.2008, PENGANTAR
TEORI SASTRA. JAKARTA: PT GRASINDO
REBA MANGGARAI